14 April 2014
Menyenangkan! Seru! Sangat berkesan! Ketagihan! Kata apalagi
yang dapat mengungkapkan perasaanku ini? Bahkan kata “capek” seolah terusir
dari pikiranku meskipun sebenarnya hal itu masih melekat erat di badan.
Penaklukan puncak Gunung Gede akhir pekan kemarin, 12-13 April 2014 merupakan
salah satu hal yang sangat memorable
dalam hidupku. Mungkin ini berlebihan, tapi itulah yang aku rasakan sekarang.
Jauh sebelum pendakian, tak pernah terbersit sekalipun untuk
naik gunung, membawa beban berat, dan berkemah di sana. Selain aku tidak
mempunyai teman-teman yang mempunyai hobi mendaki gunung, aku pikir aku terlalu
lemah untuk melakukan hal itu. Namun, dua hari kemarin, semua hal berubah. Aku
bahkan tak percaya aku berhasil mendaki Gunung Gede, membawa carrier dengan beban yang cukup berat,
berkemah, dan berhasil mencapai puncaknya. Aku luar biasa bersyukur atas hal
itu, tak menyangka hal ini akan terjadi. Bagaimana kisahnya?
Semua berawal dari pertemuan pertama aku dengan seseorang di
hari pertama aku bekerja. Aku berkenalan dengan Ria, yang ternyata mahasiswa UI
2010 juga tapi jurusan Psikologi. Ria juga baru pertama masuk saat itu dan dia
hanya magang di tempat itu. Mungkin sekitar dua minggu setelah itu, aku mulai
bisa berteman dengannya, mulai dari berangkat kerja bareng, makan siang bareng
hingga pulang bareng. Kami juga suka ngobrol-ngobrol dengan teman sekantor
kami, Sinta dan Sherly. Hanya saja, Ria tidak berada di divisi yang sama dengan
kami bertiga.
Entah kapan, mungkin sekitar dua minggu sebelum pendakian,
Ria mengajak kami bertiga untuk naik gunung bersama teman-temannya. Saat itu
aku dan Sinta berminat. Mulailah aku diajak berkenalan dengan teman-temannya
Ria. Pada akhirnya Sinta tidak jadi ikut naik gunung dikarenakan kekhawatiran
sepulangnya turun dari gunung akan mencapai dini hari sementara paginya harus
sudah siap kerja. Aku mulai berkenalan dengan teman-teman Ria yang akan naik
gunung. Temannya itu merupakan teman satu organisasinya, LCC, dan ada juga
anak-anak anggota pecinta alam di fakultasnya. Tim pendakian final adalah: Kak
Nanang, Dina, Tiwi, Ruslan, Putri, Uci, Ria, dan aku.
Beberapa dari kami,
terutama aku tentunya, tidak mempunyai alat-alat mendaki gunung seperti carrier, sleeping bag, tenda, nesting,
matras, jas hujan, headlamp, dll.
Proses meminjam pun dilakukan oleh Ria dan yang lainnya. Mereka mempunyai
banyak kenalan yang mempunyai berbagai alat pendakian. Meskipun pada akhirnya
ada satu orang yang sangat minim peralatan pendakian, namun tekad harus tetap
dijalankan.
Kami berkumpul di depan Masjid Universitas Gunadarma (jalan
Margonda) pada hari Jumat mulai pukul 21.00. Selepas pulang kerja aku langsung
persiapan. Semua tim berkumpul, membereskan barang bawaan hingga akhirnya siap
menuju terminal Kampung Rambutan pukul 22.30. Sesampainya di terminal, bis yang
akan kami naiki ternyata sudah berangkat, jadi kami menunggu kedatangan bis
berikutnya. Kami akan mendaki dari jalur Cibodas, jadi harus naik bis yang
melewati Cibodas tentunya. Akhirnya kami baru naik bis dan berangkat sekitar
pukul 00.00 dini hari. Untungnya, kami semua mendapat tempat duduk dan dapat
beristirahat selama 2 jam perjalanan, meskipun kurang kondusif karena ramai
obrolan orang dans sebagainya. Tiba di jalan masuk menuju jalur pendakian, kami
menyewa angkot yang mengantarkan kami menuju tempat peristirahatan (warung Mang
Idi). Kami beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk pendakian pagi hari.
Karena kami belum melakukan validasi pendaftaran, pagi
harinya kami harus menanti di depan kantor administrasi untuk mengurus perizinan.
Sayangnya, kantor baru buka jam 9 pagi, jadi kami terlantar harus menunggu
hingga kantor dibuka. Setelah jam buka kantor pun, kami harus tetap menunggu
hingga jam 11 dikarenakan perizinan yang memakan waktu. Karena tidak validasi,
kuota pendakian sudah penuh, sehingga membutuhkan izin khusus agar kami
dipersilakan naik. Waktu kami banyak terbuang sia-sia di sana hingga akhirnya
kami baru bisa mendaki sekitar jam 11 lebih.
Awal perjalanan sungguh berat. Aku membwa tenda untuk 2-3
orang beserta flysheet kemudian nesting, sleeping bag, matras, baju ganti, air mineral 3 liter, jas hujan,
jaket anti air, jaket biasa, dan hal-hal kecil lainnya. Dalam satu jam pertama,
dadaku sangat terasa sesak, keringat menetes berjatuhan dari wajahku. Sungguh
tidak enak ketika berkeringat namun suhu lingkungan sedang dingin. Punggungku
terasa sakit ditambah dengan jari-jari kakiku yang mulai kram karena ukuran
sepatu yang terlalu pas. Aku tidak mau menyerah dan aku tidak mau menjadi beban
bagi mereka. Aku pasti bisa!
Kadang kami berhenti sejenak untuk minum atau
hanya sekedar meregangkan badan. Kadang kami juga berhenti cukup lama. Kami
makan siang dan sholat terlebih dahulu sekitar jam 12.00 sampai jam 13.00 lebih
sebelum perjalanan dilanjutkan. Kami beristirah di Telaga Biru. Pemandangan
selama perjalanan mungkin cukup membosankan, hanya pohon-pohon saja. Rasa
capeknya tak perlu dibahas. Yang penting aku bisa membawa bebanku itu hingga
akhir. Yang penting aku tidak menyusahkan teman-temanku. Selepas istirahat dari
Telaga Biru, aku mengenakan sandal jepit yang menurutku lebih nyaman
dibandingkan sepatu.
Satu hal yang paling ekstrim dari perjalanan tersebut adalah
ketika melewati air panas. Kami harus melewati bebatuan licin yang dialiri air
panas dari atas. Terpeleset sedikit nyawa kami dalam bahaya sebab jika kami
jatuh, kami akan masuk jurang. Perlu langkah yang ekstra hati-hati. Saat itu
aku mengenakan sepatu demi keamanan. Dalam perjalanan tentu kami bertemu dengan
orang lain yang mendaki juga, baik itu mereka yang akan menuju ke atas maupun
yang sedang perjalanan turun. Mungkin kita punya pemikiran dan rasa kepedulian
yang sama. Kami tak sungkan-sungkan untuk menyapa, bertanya, bahkan berbagi
makanan/minuman. Beberapa orang yang sempat bersama-sama adalah rombongan dari
Jawa Timur. Begitulah. Ungkapan kata-kata ini sangat terlalu singkat dan nyaris
tidak menggambarkan apapun dari perjalanan kami yang berjam-jam. Oh iya, di
tengah perjalanan naik, sempat juga turun hujan cukup deras namun dalam waktu
yang singkat.
Kami berhenti sejenak ketika waktu memasuki pukul 18.00,
menunggu waktu maghrib. Perjalanan kemudian dilanjutkan hingga mencapai tempat
berkemah di Kandang Badak sekitar pukul 19.00. Saat itu hari sudah gelap dan
kami harus emnggunakan headlamp untuk
menerangi jalan di hadapan kami. Rombongan sempat terpencar-pencar, dan aku
jalan hanya bersama Tiwi hingga mencapai basecamp.
Sesampainya di sana, kami mencari tempat kosong, mendirikan tenda dan membuat
makanan. Suasana sudah mencair, setidaknya aku bisa berbaur dengan mereka, bisa
memberikan bantuan seperti mengupas dan memotong wortel, kentang, atau apapun
yang dapat aku lakukan. Kami membuat sop sayur (isinya wortel, kol, kentang),
bakso goreng, nughet, bahkan pisang goreng. Oh iya, kami juga masih bersama
dengan rombongan dari Jawa Timur dan mendirikan tenda bersebelahan dengan
mereka. Kami juga saling berbagi makanan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan
pukul 00.00 ketika aku menjelang tidur.
Kami mendirikan dua tenda. Satu tenda kecil untuk para putra
(bertiga) dan satu tenda yang lebih besar untuk para putri (berlima).
Sebenarnya masih ada satu tenda lagi yang kami bawa, hanya saja tidak dipasang
karena terbatasnya tempat. Setidaknya, tenda yang didirikan sudah cukup
menampung kami. Malam semakin dingin. Di tengah tidur, aku menyadari bahwa
teman di sebelah aku sepertinya kedinginan. Tubuhnya gemetaran. Aku sadar,
terbangun, dan benar saja Kak Nanang kedinginan karena tidak memakai sleeping bag. Bukannya tidak membawa, sleeping bag miliknya diberikan kepada
Ruslan. Aku tidak mengerti apa yang yang harus aku lakukan. Aku mencoba untuk
memberikan sleeping bag yang aku
pakai, namun dia menolak. Jelas saja, nanti pasti aku yang akan kedinginan dan
masalah tidak akan selesai. Hal yang bisa dilakukan adalah berbagi sleeping bag, setidaknya dapat menutupi
bagian kaki kami. Meskipun demikian, beberapa saat kemudian, Kak Nanang kembali
gemetaran kedinginan. Aku mencoba menyelimutinya dengan jaket biasa aku dan
tidak berpengaruh banyak rupanya. Entahlah aku harus bagaimana lagi. Pada
akhirnya, hingga pagi hari Kak Nanang sepertinya masih kedinginan. Hal yang
sama juga terjadi pada Putri yang mengalami kedinginan dan mual-mual.
Waktu subuh, jam 04.30 kami dibangunkan oleh para putri
untuk siap mendaki puncak. Kami semua berangkat, kecuali Putri yang tetap
tinggal di tenda karena kondisinya masih belum pulih benar. Kami mulai mendaki
sekitar pukul 05.00 kurang. Tidak perlu membawa carrier, hanya perbekalan saja untuk di sana. Aku membawa tas yang
berisi air dan nesting. Cukup berat. Sementara yang lain hanya bawa jas hujan
atau botol minum. Tak apa. Latihan juga sebenarnya. Perjalanan menuju puncak
ini lebih berat dibandingkan sebelum menuju Kandang Badak dikarenaka lebih
curam. Bahkan kami sempat memanjat tebing yang kemiringannya hampir 80 derajat
mungkin. Ada tambang yang dapat membantu tentunya, namun tetap saja sensasinya
sungguh memacu adrenalin. Ditambah lagi udara mulai semakin dingin, menyentuh
benda apapun jadi terasa lebih sakit. Namun akhirnya kami semua berhasil dan
mendapatkan pemandangan yang menakjubkan. Ini bahkan belum sampai di puncak.
Perjalanan dilanjutkan, dan lintasan semakin menanjak.
Sekitar pukul 08.00
lebih kami tiba di kawasan puncak Gunung Gede. Sebagian dari kami melanjutkan
hingga titik puncak, sebagian lain (Kak Nanang dan Dina) tidak melanjutkan
namun membuat minuman hangat. Lagipula mereka sudah pernah mencapainya.
Pemandangan di kawasan puncak gunung sungguh menakjubkan. Aku dapat melihat
bentangan Gunung Pangrango, kawasan kawah belerang, bahkan hingga batang-batang
gedung tingi kota Jakarta terlihat dari sana. Sayangnya, aku hanya sejenak menikmati
pemandangan tersebut dikarenakan kabut mulai menghalangi pandangan.
Suhu udara
sudah sangat dingin. Bunga-bunga es mulai terbentuk di pakaian kami. Jariku
kaku meskipun sudah mengenakan sarung tangan. Kami menyeduh air panas untuk
membuat berbagai minuman hangat, membuka makanan dan beristirahat sejenak di
sana. Berinterkasi dengan orang-orang lain juga menambah kesan tersendiri.
Kami harus segera kembali ke penginapan dikarenakan Putri
sendirian di sana. Jadilah kami segera turun selepas santapan kecil. Tiba di
tenda sekitar pukul 11.00 kurang, kami siap-siap membuat makan siang. Menu kali
ini adalah nasi, tahu orak-arik, bakso goreng, hingga kolak ubi. Makan,
beres-beres, dan kami siap untuk turun gunung sekitar pukul 12.30 lebih.
Perjalanan menuruni gunung terasa lebih cepat, kami bahkan sudah tiba di pos
kedatangan pada pukul 17.00 lebih. Aku dan Tiwi sempat terpisah dari rombongan.
Kak Nanang dan Ruslan sudah jauh di depan, bahkan mereka sudah tiba sedari
pukul 15.00 katanya. Di belakang kami,
empat putri lainnya dan masih belum sempat bertemu sama sekali sampai di
jembatan panjang. Di tengah perjalanan terjadi hujan deras dan berlangsung
sangat lama. Beruntung hujan turun setalah kami melewati air panas. Kami jarang
berisitirahat lama, hanya sebentar barang untuk minum atau mengistirahatkan
sejenak kaki kami yang sudah terasa sangat pegal.
Ketika menapakkan kaki di
turunan, lutut terasa sangat sakit. Aku juga sempat memakai sandal jepit
selepas dari air panas sehingga kadang slip dan membuat telapak kakiku tidak
nyaman. Meskipun demikian, tidak ada kejadian fatal yang terjadi. Sebelum hujan
tiba, kami juga sempat bercengkrama dengan pendaki lain selama perjalanan.
Mendengarkan lelucon aneh mereka, kami hanya bisa terdiam dan tertawa kecil.
Hujan deras berlangsung sangat lama. Bahkan hingga pos kedatangan, huja masih
rintik-rintik. Kami memutuskan tetap bergerak, lagipula tempat berteduh jaraknya
sangat jauh dan selalu penuh oleh orang-orang. Meski membuat celanaku basah,
namun hujan ini memberikan kesan tersendiri, seolah membumbui cerita pendakian.
Ya, demikian lah, hingga akhirnya kami tiba di pos kedatangan sekitar pukul
17.00 lebih. Istirahat, ganti baju, makan, beres-beres dan sebagainya hingga
akhirnya jam 19.00 kami siap pulang.
Berjalan dari pos kedatangan hingga tempat angkot, kami
menyusuri jalanan gelap dengan headlamp.
Tiba di bawah, kami menunggu bis. Awalnya ada satu bis yang hendak berangkat,
namun penuh, kami tidak jadi naik. Bis berikutnya datang ternyata penuh juga.
Dibandingkan menunggu lama dan belum tentu dapat duduk, sebaiknya berdiri saja
di bis agar pulangnya tidak kemalaman. Kami berangkat sekitar pukul 20.00
kurang. Selama 1,5 pertama kami tidak mendapat tempat duduk.
Setelah mencapai
Ciawi, banyak penumpang turun sehingga kami mendapatkan tempat duduk. Aku
sempat mual, sepertinya masuk angin. Jadi aku harus duduk, bagaimanapun
caranya. Aku menduduki carrier dan bersandar ke tepi kursi
penumpang. Setidaknya mualku hilang meskipun kakiku pegal, kesemutan, dan sakit
tak karuan. Setelah mendapat tempat
duduk, barulah aku merasa cukup rileks.Tiba di terminal Kampung Rambutan
sekitar pukul 22.30 dan kami naik angkot tujuan Depok, semuanya kecuali Kak
Nanang. Dan akhirnya, perjalanan usai. Aku tiba di kosan pukul 23.00 kurang,
berisitirahat, beres-beres sedikit, mandi, dan menelpon ibu. Hingga akhirnya
aku tidur jam 01.00 dini hari dan bangun agak terlambat untuk kerja. Akan
tetapi kedatanganku di kantor tetap tidak terlambat. Kehidupanku berubah
drastis lagi. Ingin segera agar liburan tiba dan aku ingin melakukan sesuatu yang
menyenangkan lagi seperti hari kemarin.
Begitulah... Rasanya seolah mimpi aku bisa melakukan
pendakian. Nikmat sekali rangkaian perjalanan itu. Entah, ini bukanlah rencana
yang aku persiapkan matang-matang. Ini hanyalah tawaran tetiba dari seorang
teman yang bahkan baru aku kenal beberapa hari. Kita tak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar